Pemalsuan produk farmasi dan produk kesehatan konsumen di sepuluh negara Asia Tenggara ('blok ASEAN') menghadirkan beberapa tantangan yang unik. Blok ASEAN adalah pasar produk kesehatan yang sangat besar, dengan Indonesia sebagai pasar terbesar, diikuti oleh Vietnam dan Thailand. Perusahaan-perusahaan farmasi melihat kawasan ini sebagai peluang pertumbuhan komersial yang sangat menarik. Namun sayangnya, banyak obat-obatan palsu tersebar luas, hal mana membahayakan kesehatan orang-orang yang rentan akan penyakit serta menodai hasil investasi yang sah dari kelompok penelitian dan pengembangan. Faktanya, berdasarkan penelitian mendalam yang dilakukan oleh Kantor PBB untuk narkoba dan kejahatan, ditemukan bahwa sebanyak 47% obat anti-malaria di Asia Tenggara merupakan obat palsu.
Sebagian besar produk farmasi dan produk kesehatan palsu diimpor ke wilayah tersebut, dengan hanya beberapa produksi lokal (yang diikuti dengan peralihan manufaktur dari daratan Cina ke Vietnam, Kamboja, dan khususnya Myanmar). Selain barang jadi, bahan aktif farmasi (API) sering kali masuk ke wilayah tersebut berasal dari India dan Cina. Dikarenakan hanya sedikit paten yang diajukan di wilayah Asia Tenggara, tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap impor API menjadi sebuah tantangan. Beberapa produk impor perawatan Kesehatan yang dibagi menjadi beberapa komponen, serta label dan kemasan bermerek dikirimkan secara terpisah. Operator di Cina adalah pelaku utama dalam memproduksi barang-barang palsu.
Peran Bea cukai di wilayah-wilayah tersebut lemah; Thailand dan Vietnam memiliki sistem Bea Cukai yang berfungsi dengan baik, walaupun Vietnam sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan Thailand. Kedua negara tersebut melakukan tindakan penyitaan dengan teratur. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang memproduksi perawatan kesehatan diharuskan untuk mendaftarkan merek-merek utama mereka. Filipina memiliki sistem pencatatan di Bea Cukai. Namun penyitaan barang untuk merek-merek yang telah tercatat jarang terjadi. Sebaliknya, penyitaan secara acak terjadi pada barang dengan merek-merek yang tidak tercatat. Indonesia memiliki sistem pencatatan yang baru diberlakukan. Tetapi sampai saat ini, hanya sedikit merek-merek yang telah dicatatkan dimana hal ini dipengaruhi oleh rumit nya penerapan pencatatan tersebut serta beberapa penyitaan yang telah terjadi. Malaysia sama sekali tidak memiliki sistem Bea Cukai yang berkaitan dengan HAKI.
Terkait Singapura, tidak banyak barang palsu memasuki pasarnya. Tantangan sebenarnya dalam pasar Singapura adalah bisnis transit yang luas (melibatkan segala jenis barang terlarang, termasuk barang palsu) melalui pelabuhan pengiriman terbesar di dunia. Selama pandemi, e-commerce berkembang sangat pesat di Asia Tenggara. Banyak platform e-commerce yang menawarkan berbagai macam produk perawatan kesehatan, bahkan produk kesehatan yang biasanya memerlukan resep dokter untuk bisa ditebus. Beberapa marketplace telah secara aktif berhenti menawarkan produk kesehatan yang diatur secara spesifik, sementara yang lain hanya mengurangi dengan tidak signifikan.
Perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk perawatan kesehatan harus menerapkan beberapa strategi untuk:
Kantor regional Pharmaceutical Security Institute di Singapura telah bertindak aktif terkait permasalahan ini. Mereka telah memprakarsai Memorandum of Understanding (MOU) dengan platform-platform e-commerce. Disamping itu, terdapat juga upaya yang lebih luas untuk meningkatkan kebersihan pasar e-commerce Asia Tenggara. Demikian pula, Kantor HAKI Inggris memprakarsai MOU antara platform dan pemilik HAKI di Filipina.
DIP (Department of Intellectual Property) Thailand juga membuat satu MOU untuk meningkatkan investigasi bagi para pedagang. Kini, Indonesia sedang dalam proses peninjauan MOU pada awal 2023, dengan bantuan IPO (Intellectual Property Office) Inggris.
Investigasi dan penegakan hukum terhadap pemalsuan di sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara masih menjadi tantangan. Covid telah menghambat upaya untuk meningkatkan penegakan hukum. Thailand pada umumnya dapat melakukan penanganan secara efektif terhadap pemalsuan. Demikian pula dengan Filipina yang memiliki Pusat Koordinasi Kekayaan Intelektual Nasional untuk melakukan razia. Di beberapa yurisdiksi, khususnya Thailand dan Indonesia, negara-negara ini terkendala dengan adanya korupsi yang dilakukan oleh oknum -oknum di Kepolisian di berbagai tingkat, yang mengakibatkan penegakan hukum bagi pemalsuan membutuhkan pengawasan yang cermat. Vietnam relatif kurang cepat dan birokratis. Otoritas penegak hukum di beberapa negara akan memulai dan kemudian menjalankan kasus penegakan secara efektif tanpa tingkat pengawasan tertentu dari pemilik merek. Situasi ini menyebabkan kurangnya pencegahan tindakan kriminal secara menyeluruh. Pemilik KI sebaiknya melihat pandemi sebagai sesuatu yang telah menghambat peningkatan penegakan terhadap KI, dan diperlukan upaya baru agar pihak berwenang kembali terbiasa dalam menghasilkan kemajuan dalam penegakan hukum.
Di bawah ini adalah beberapa contoh kasus terbaru:
Indonesia
Pada tahun 2022, polisi menangkap produsen dari berbagai produk kesehatan, termasuk vitamin Becomzet dan suplemen herbal untuk diabetes Bio Insuleaf, di Rembang, Jawa Tengah Utara.
Pada tahun 2020 di Lombok, dua (2) pria ditangkap karena menjual obat palsu yang mereka beli melalui situs belanja online yang dipasok ke kepulauan Indonesia bagian timur.
Pada 2019, polisi menangkap pedagang farmasi besar, PT Jaya Karunia Invesindo, yang mengemas ulang obat generik menjadi obat non-generik yang dilindungi hak paten dan dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Filipina
Pada tahun 2022, Bea Cukai menyita obat palsu senilai 30 juta Peso (sekitar USD 585.000) di dua unit penyimpanan di Parañaque. Obat-obatan yang disita tersebut dikemas dalam karton dengan huruf Tiongkok. Diantaranya adalah versi palsu dari obat bermerek Alaxan FR, Bioflu, Biogesic, Medical, Neozep, dan Panax. Terdapat juga versi palsu dari obat antiparasit Ivermectin dan Phenokinon-F Injection, serta suplemen Immunpro dan MX3. Seseorang berkebangsaan Pakistan Bernama Adel Rajput ditangkap.
Pada awal 2022, Tim Reaksi Khusus Walikota Manila (SMaRT) menangkap Monique Gamboa, pedagang obat palsu secara online yang diduga diproduksi oleh Unilab. Setelah uji coba, Gamboa menawarkan 18.000 tablet Bioflu dan sekotak tablet Neozep. Kini, penuntutan terhadap kasus tersebut telah dimulai.
Selain itu, pada awal tahun 2022, tujuh (7) orang ditangkap karena diduga menjual alat uji cepat antigen Clungene COVID-19 yang tidak sah senilai lebih dari 2 juta Peso dan juga obat-obatan palsu di Kota Quezon. Hangzhou Clongene Biotech memproduksi produk-produk asli. Sekitar 300 kotak alat tes senilai 1,2 juta Peso, sebuah mobil Ford, dan telepon seluler disita. Pedagang menggunakan Facebook untuk melakukan transaksi mereka.
Polisi Pampanga menggerebek dan menangkap seorang pria berusia 47 tahun setelah menemukan tujuh (7) karung obat palsu di kediamannya. Obat-obat tersebut termasuk Celecoxib, Cefuroxime, Etoricoxib, Emeprozole dan Recombinant Human Erythropoietin, dan dua karung Co-Amoxiclax.
Pada tahun 2020, dua warga negara Tiongkok ditangkap di Cavite karena memiliki obat Covid senilai 10 juta peso. Polisi mengatakan 27 kotak atau 259.000 kapsul Linhua Qingwen Jiaonang, obat Tiongkok, disita.
Singapura
Pada tahun 2021, polisi menangkap seorang pria berusia 34 tahun karena menjual 41.000 respirator yang diduga melanggar merek dengan nilai perkiraan lebih dari SGD 201,000. Di penghujung tahun 2021, polisi menangkap seorang wanita yang menjual 300 termometer palsu secara online. Termometer yang palsu hanya menampilkan 37° C!
Bea Cukai menyita 1.520 strip obat ilegal di pos pemeriksaan Johor Causeway Bridge Woodlands yang sedang memasuki Singapura dari Malaysia. Obat-obatan terlarang tersebut disembunyikan di panel pintu belakang mobil. Dua warga Singapura ditangkap.
Kamboja
Pada tahun 2019, Komite Penanggulangan Pemalsuan Kementerian Dalam Negeri menyita ribuan pil herbal China ilegal dan obat pembesar kelamin. Polisi menggerebek tiga toko. Beberapa diantaranya tidak memiliki ijin pemasaran, sementara yang lainnya telah kadaluarsa.
Vietnam
Pada tahun 2022 Vietnam memecat seorang wakil menteri kesehatan setelah dia dituduh terlibat dalam jaringan perdagangan obat palsu. Polisi menyelidikinya pada bulan November setelah dituduh memberi ijin kepada perusahaan lokal untuk mengimpor obat palsu senilai lebih dari 54 miliar dong (USD 2,38 juta) untuk perdagangan domestik. Truong QuocCuong adalah kepala manajemen obat dan kosmetik pada saat itu.
Pada tahun 2019, mantan CEO perusahaan farmasi swasta di Saigon dijatuhi hukuman 17 tahun penjara dikarenakan menyelundupkan obat kanker palsu. Perusahaan membelinya dari Helix Pharmaceuticals Kanada, yang sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya, obat-obatan palsu tersebut diimpor dari India yang memiliki senyawa berkualitas rendah. Keragaman kasus ini menunjukkan masalah yang lebih luas yaitu keterlibatan transaksi internasional dan domestik.
Dari kasus-kasus di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa jumlah penyitaan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah sebenarnya dari kasus tersebut. Terlebih lagi jarang terdapat kasus yang berujung kepada penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap seseorang. Memperburuk krisis yang terjadi pada pasar online dan kurangnya kerja sama dan ketekunan antara Kementerian Kesehatan dengan aparat penegak hukum dan Bea Cukai. Sisi positifnya adalah keberhasilan Pusat Koordinasi Nasional Filipina yang telah menyatukan banyak lembaga, sistem Bea Cukai di Thailand yang dikelola dengan baik, dan peningkatan penegakan hukum melalui MOU dengan platform-platform e-commerce di Asia Tenggara. Namun demikian, perusahaan layanan kesehatan memerlukan otoritas publik untuk lebih memimpin dalam hal membangun program penegakan hukum yang efektif di Asia Tenggara.